Jumat, 31 Mei 2013

Apakah engkau pun begitu saudariku?!

Apakah engkau pun begitu saudariku?!

Ada sebuah tulisan bagus yang dikutip sahabat dari seorang Muslimah "Menginspirasi", Seorang Ibu dari Anak-anaknya yang Hafidz-Hafidzah. Tulisan ini dibuatnya bulan April 2011. Dialah Dra. Wirianingsih, istri dari Ust. Mutammimul Ula.
Semoga Allah bantu kita semua utk menjadi muslimah yang terbaik..


Jika menginginkan anak-anak kita cerdas, mulailah denganmenjadikan diri kita sebagai ibu yang cerdas. hanya ibu yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas. Kata cerdas ada perbedaan dengan kata pintar. Cerdas dimaknai oleh para pakar pendidikan dan psikolog sebagai kemampuan mengambil keputusan dengan tepat. Cerdas juga bermakna seperangkat kemampuan yang terhimpun dalam individu untuk melihat gejala, menyikapinya ,dan pengendalian diri yang baik. Biasanya cerdas juga menunjukkan indikasi kedewasaan dan kematangan. Orang cerdas biasanya pintar, tapi tidak mesti ditunjukkan dengan angka-angka akademik yang fantastis. Maka biasanya kecerdasan lebih banyak merujuk pada kematangan jiwa seseorang.Emosi yang relatif stabil. Biasanya orang yang emosinya stabil memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan baik.

Beberapa pendapat termasuk Gardner menyebutkan bahwa kecerdasan meliputi banyak hal, dimulai dari kecerdasan emosi,kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan intelektual, kecerdasan ruang. Ada sekitar sembilan kecerdasan. Garner menyebutnya sebagai ‘multiple intelegence’.

Pintar dimaknai sebagai ‘cap’ (mark) terhadap seseorang yang ‘kecerdasan intelegensinya ditandai dengan kemampuan meraih standar angka tertentu. Dalam nilai belajar atau nilai akademik, anak pintar biasanya ditujukan untuk mereka yang bisa meraih di atas nilai rata-rata kelas. Pintar juga biasa juga dilekatkan dengan sebutan “pintar mengemudi mobil’, ‘pintar bikin kue’, ‘pintar menggambar’, dan banyak lainnya. Jadi pintar juga dapat dilekatkan dengan ketrampilan. Terkadang pintar tidak melulu berarti orang itu cerdas.

Dalam Islam, Rasulullah SAW,mendefinisikan kata cerdas (al-kayyis) sebagai orang yang menyiapkan hidupnya sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian (al-Hadist shohih). Melihat definisi ini cerdas berarti visioner. Orang yang cerdas berpandangan jauh ke depan. Itu sebabnya, kita sering mengatakan mereka yang bekerja, bersikap, dan berfikir visioner adalah orang yang cerdas meskipun nilai matematikanya lima.
Melihat pengertian diatas, penting bagi kita terutama kaum ibu untuk menjadi ibu yang cerdas. Begitu banyak ibu yang berpendidikan tapi juga tidak cukup cerdas menata kehidupannya,kehidupan keluarganya, dan apalagi mengasuh anak-anaknya.

Kita sering merasakan kewajiban lebih banyak dari waktu yang tersedia. Terutama kewajiban atau tanggung jawab sebagai seorang muslimah.Karena itu, diperlukan kecerdasan yang memadai jika ingin waktu seorang muslimah berdaya guna dan berhasil guna . Inilah pertanyaan terpenting nanti di akhirat, waktumu engkau habiskan untuk apa.

Menjadi ibu yang cerdas merupakan cita-cita bagi seorang perempuan yag memahami arti kehidupan. waktu yang tersedia bagi kehidupan seseorang sudah dijatah oleh sang maha Pencipta. Tidak lebih dan tidak kurang. Maka penting bagi kita menata waktu sebaik-baiknya agar tidak ada satu hal yang terlewat dalam kehidupan. Semua hendaknya diniatkan untuk semata mengabdi padaNya. artinya, jadikan setiap waktu ‘gaul kita’ dengan siapapun hendaknya berkualitas tinggi, termasuk berinteraksi dengan anak-anak kita. Tugas seorang ibu sebenarnya hanyalah ‘menghantarkan’ agar anak memiliki kemampuan ‘mengarungi samudra kehidupan yang terbentang luas dengan segala tantangan dan peluangnya’.
By:divisi_dakwah

Senin, 20 Mei 2013

deteksi dini akal kita

deteksi dini akal kita


Sayyidina umar berkata. ' Seseorang yang memiliki akal sehat ialah orang yang saling memberi menasihati"

So, masihkah hati ini marah saat ada yang menasihati? Maka waspadalah akalmu dalam kondisi tidak sehat..
Atau melihat org bersalah dn juga tidak menasihati dan berusaha memberi tahu? Waspadalah, akal mu telah membatu

Mari kita deteksi dini dengan refleksi kata2 sahabat umar
By:divisi-dakwah

Selasa, 14 Mei 2013

Menghina Alquran?!bolehkah?

Menghina Alquran?!bolehkah?

Dosen: "Saya bingung. Banyak Umat Islam di seluruh dunia lebay. Kenapa harus protes dan demo besar-besaran cuma karena tentara amerika menginjak, meludahi dan mengencingi Al-Quran?

Wong yang dibakar kan cuma kertas, cuma media tempat Quran ditulis saja kok.

Yang Qurannya kan ada di Lauh Mahfuzh. Dasar ndeso. Saya kira banyak muslim yang mesti dicerdaskan."

Meskipun pongah, namun banyak mahasiswa yang setuju dengan pendapat dosen liberal ini. Memang Qur'an kan hakikatnya ada di Lauh Mahfuz.

Tak lama sebuah langkah kaki memecah kesunyian kelas. Sang mahasiswa kreatif mendekati dosen kemudian mengambil diktat kuliah si dosen, dan membaca sedikit sambil sesekali menatap tajam si dosen. Kelas makin hening, para mahasiswa tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mahasiswa: "Wah, saya sangat terkesan dengan hasil analisa bapak yg ada disini."ujarnya­ sambil membolak balik halaman diktat tersebut.

"Hhuuhhh...."se­mua orang di kelas itu lega karena mengira ada yang tidak beres.

Namun Tiba-tiba sang mahasiswa meludahi,
menghempaskan dan kemudian menginjak-injak­ diktat dosen tersebut. Kelas menjadi heboh.

Semua orang kaget, tak terkecuali si dosen liberal.

Dosen: "kamu?! Berani melecehkan saya?!Kamu tahu apa yang kamu lakukan?! Kamu menghina karya ilmiah hasil pemikiran saya?! Lancang kamu ya?!" Si dosen melayangkan tangannya kearah kepala sang mahasiswa kreatif,
namun ia dengan cekatan menangkis dan menangkap tangan si dosen.

Mahasiswa: "Marah ya pak? Saya kan cuma nginjak kertas pak. Ilmu dan pikiran yang bapak punya kan ada di kepala bapak.

Ngapain bapak marah kalau yang saya injak cuma media buku kok. Wong yang saya injak bukan kepala bapak. Kayaknya bapak yang perlu dicerdaskan ya??"

Si dosen merapikan pakaiannya dan segera meninggalkan kelas dengan perasaan malu yang amat sangat.

"Itulah salah satu hukuman langsung dri AllahTa'ala bagi siapa saja yang ingin mempermainkan atau mencaci maki Agama-Nya."

Perang logika lawan dengan logika

Warmly:divisi_dakwah

Senin, 06 Mei 2013

MENGUKUR SEBUAH CINTA

MENGUKUR SEBUAH CINTA

Dalam Kitab Hayatus Shahabah, halaman 524-525 diriwayatkan kisah berikut:
Menjelang perang uhud, Abdullah bin Jahsy mengajak sahabatnya, Sa'd bin Abi
Waqqash untuk berdo'a. Ajakan itu disetujui oleh Sa'd. Keduanya mulai
berdo'a. Sa'd berdo'a terlebih dahulu: "Tuhanku, jika nanti aku berjumpa
dengan musuhku, berilah aku musuh yang sangat perkasa. Aku berusaha
membunuh dia dan dia pun berusaha membunuhku. Engkau berikan kemenangan
kepadaku sehingga aku berhasil membunuhnya dan kemudian mengambil miliknya
(sebagai rampasan perang)."
Abdullah mengaminkannya.­ Tiba giliran Abdullah berdo'a: Tuhanku, berilah
aku musuh yang gagah perkasa. Aku berusaha membunuhnya, dan ia berusaha
membunuhku. Kemudian ia memotong hidung dan telingaku. Kalau nanti aku
bertemu dengan-Mu. Engkau akan bertanya, 'man jada'a anfaka wa udzunaka?'
(Siapa yang telah memotong hidung dan telingamu?). Aku akan menjawab bahwa
keduanya terpotong ketika aku berjuang di jalan-Mu dan jalan Rasulullah
(fika wa fi rasulika). Dan Engkau, ya Allah akan berkata, "kamu benar!"
(shadaqta).
Sa'd mengaminkan do'a Abdullah tersebut. Keduanya berangkat ke medan Uhud
dan do'a keduanya dikabulkan oleh Allah.
Sa'd bercerita kepada anaknya, "Duhai anakku, do'a Abdullah lebih baik
daripada do'aku. Di senja hari aku lihat hidung dan telinganya tergantung
pada seutas tali."
Kisah ini telah melukiskan sebuah cara untuk mengukur cinta kita pada
Allah. Sementara banyak orang yang berdo'a agar mendapat ini dan itu,
seorang pencinta sejati akan berdo'a agar dapat bertemu dengan kekasihnya
sambil membawa sesuatu yang bisa dibanggakan.
Ketika di padang mahsyar nanti Allah bertanya pada anda: "Dari mana kau
peroleh hartamu di dunia?" Anda akan menjawab, "harta itu kuperoleh dengan
kolusi dan korupsi, dengan memalsu kuitansi, dengan mendapat cipratan
komisi."
Allah bertanya lagi, "apa saja yang telah engkau lakukan di dunia?"
"Kuhiasi hidupku dengan dosa dan nista, tak henti-hentinya kucintai indah
dan gemerlapnya dunia hingga aku dipanggil menghadap-Mu." Allah dengan
murka akan menjawab, "kamu benar!"
Bandingkan dengan seorang hamba lain yang ketika di padang mahsyar berkata
pada Allah: "Telah kutahan lapar dan dahaga di dunia, telah kubasahi
bibirku dengan dzikir, dan telah kucurahkan waktu dan tenagaku untuk
keagungan nama-Mu, telah kuhiasi malamku dengan ayat suci-Mu dan telah
kuletakkan dahiku di tikar sembahyang bersujud di kaki kebesaran-Mu."

Dan Allah akan menjawab, "kamu benar!"
Duhai.... adakah kebahagian yang lebih dari itu; ketika seorang hamba
menceritakan amal-nya dan Allah akan membenarkannya.
Maukah kita pulang nanti ke kampung akherat dengan membawa amal yang bisa
kita banggakan? Maukah kita temui "kekasih" kita sambil membawa amalan yang
akan menyenangkan-Ny­a?
Armidale, 18 September 1997-Nadirsyah Hosen

Wallohu'alam.

By: divisi_dakwah